Tuesday 1 November 2011

Kisah Developer Muda; Ghofar Rozak Nazila, Boss Relife Realty

Anda yang tinggal di kawasan Depok dan Jakarta Timur mungkin pernah mendengar atau setidaknya membaca nama Relife Realty. Nah, ini adalah kisah tentang boss-nya, developer muda kelahiran Jepara 3 Februari 1982. Dengan membaca kisahnya, harapannya kita akan termotivasi untuk menjadi seorang pebisnis properti, baik menjadi developer, kontraktor ataupun agen atau broker.
Sebagai seorang muda, Ghofar Rozak Nazila terbilang sukses menjadi developer. Hanya dalam lima tahun ia melambungkan omzet Relife dari semula hanya miliaran menjadi hampir Rp100 miliar tahun lalu. Bagaimana ia membangun bisnisnya? Mari kita ikuti perbincangan Yoenazh K Azhar dan Halimatussadiyah dari Majalah Housing Estate dengan Boss Relife Realty yang juga alumni jurusan arsitektur UI Depok, Jawa Barat ini. 

Bagaimana Anda bisa jadi pengembang?
Setelah lulus dari UI saya berencana bergiat di dunia pendidikan. Waktu itu saya dapat beasiswa S2 di UTM. Saya lulus Februari 2005 dan baru akan ke Malaysia akhir Oktober. Untuk mengisi waktu saya jualan voucher. Saya juga diajak kawan dalam usaha trading (perdagangan umum) sebagai perantara, memasok kebutuhan sebuah perusahaan besar. Karena kuliah di arsitektur, saya juga menawarkan jasa design and build. Kita desain dan kita bangun. Uangnya dari pemilik bangunan. Berawal dari sebuah rumah tinggal di Yogya, berlanjut ke Cinere dan Cimanggis (Depok), serta Pancoran, Rawasari dan Pejaten (Jakarta). Jadi, praktis modal kita nol, yang kita jual kepercayaan. 
Dalam perjalanan usaha itu berguguran satu per satu. Yang voucher terlalu padat modal, kita KO. Yang trading ada tindakan kriminal, penipuan, tintanya palsu dan segala macam. Gagal juga dan menyisakan PR. Yang berkembang design and build. Bahkan makin berkembang, tidak hanya menggambar dan membangun tapi juga menjualkan. Di sini saya bersama dua teman lain. Ini cikal bakal kami jadi developer. Kami namai usaha kami Relife. Tapi, belakangan usaha ini pun tidak mulus, karena kami masih culun dan intensitas pengenalan di antara kami masih kurang, sehingga ada pengambilan-pengambilan kebijakan yang berbahaya bagi eksistensi usaha. 

Masalahnya apa?
Selain rumah tinggal pribadi kami mulai mengembangkan proyek hunian di atas tanah 750 m2 di Depok. Namanya Orchid Pavilion, menawarkan lima rumah seharga Rp250 – 350 juta/unit. Teman saya bilang lokasinya bagus, jalan di depannya cukup besar, pembelinya juga sudah ada. Saya percaya meski belum lihat sendiri tanahnya. Karena itu saya depe-in itu tanah Rp150 juta. Tapi, setelah saya cek satu per satu, ndak ada yang mau beli. Jalan di depan lahan juga ketutup tanah orang. Aduuh, mati kita. Masalahnya jadi makin berat karena ekonomi krisis sehingga ini juga menyisakan PR. 

Apa yang Anda lakukan?
Dalam kondisi banyak PR itu kawan-kawan saya mundur teratur. Saya dihadapkan pada situasi nggak ada pilihan. Karena itu saya berpikir, kalau tetap berangkat ke UTM, saya akan meninggalkan banyak PR. Saya tidak bisa hidup dengan situasi seperti itu. Modal saya kepercayaan dan komitmen. Maka, saya pilih menyelesaikannya. Adrenalin saya jadi naik, saya tertantang menjadi developer tunggal. Saya tangani sendiri semua. Mulai dari desain, legalitas, perizinan, konstruksi, penjualan sampai nyariin panci buat tukang. Alhamdulillah selesai. Di sini tidak bisa saya lupakan jasa Pak Prima Kumara, karena saat-saat sulit itu ia mempercayakan pembangunan kliniknya sama saya. Nilai proyeknya cukup besar. Saya bisa menyelesaikannya dengan baik. Saya dapat income untuk menyelesaikan PR-PR itu. Semua rumah di Orchid bisa saya jual dengan surplus cukup besar. Kepercayaan orang naik sehingga saya dipercaya sekelompok dokter membangun rumah mereka di Jakarta. Sementara Pak Prima melihat goodwill (kemauan baik) pada saya. Beliau yang tadinya profesional di bank syariah, memilih keluar dan bergabung menjadi salah satu owner Relife. Semua peristiwa yang mengubah rencana awal saya itu terjadi Mei – Oktober 2005.

Surplus itu dipakai untuk apa?
Ketika tiga rumah di Orchid laku ada excess cash Rp100 juta. Bersamaan dengan itu ada tanah 3.000 m2 di Jl Juanda (Depok). Harganya Rp1,15 miliar. Karena duit hanya Rp100 juta saya mohon supaya bisa dibayar secara bertahap selama 1,5 tahun. Pemilik tanah mau. Saya tidak tahu kenapa. Yang jelas sampai sekarang hubungan saya dengan beliau sudah seperti ibu dan anak, dengan anak-anaknya seperti saudara. Di atas tanah itu saya kembangkan Juanda Green Residence (19 unit) seharga Rp226 juta – 750 juta/unit. Dari proyek kedua ini saya dapat omzet Rp7 miliar. Saya bisa melunasi utang kepada ibu itu dalam sembilan bulan. Setelah itu proyek lain menyusul: Cimanggis Green Residence 1 dan 2, Kelapa Dua, Greenlife, Greenland dan seterusnya. Kantor yang semula ngontrak di Juanda pindah ke ruko milik sendiri di Graha Depok Mas. Identitas perusahaan mulai diperjelas dengan mendirikan badan hukum (PT). Dalam perjalanan kita juga mendapat dukungan modal dari investor. Begitu melihat bukti tanpa diminta orang datang menawarkan dana atau tanah. Tapi, semuanya investor per proyek. Owner Relife tetap tiga: saya, Pak Prima dan satu orang lagi. Sekarang kita memiliki empat investor loyal. 

Ketika PR-PR terselesaikan tidak terpikir lagi ke Malaysia?
Saya merasa proses yang saya jalani sebagai takdir. Selain itu pengalaman menyelesaikan masalah Orchid juga menumbuhkan motivasi dan keyakinan (bahwa saya layak meneruskan bisnis perumahan ini). Keyakinan itu didukung latar belakang pendidikan saya. Sulit membayangkan desain saya bisa diterima pasar, dan saya bisa mengontrol proses produksi di awal-awal bisnis ini, kalau saya tidak punya latar belakang itu. Saya bisa pakai jasa konsultan, tapi modal waktu itu kan nggak memungkinkan. 

Ada pengaruh latar belakang orang tua terhadap keberhasilan bisnis Anda?
Di tangan ayah dan ibu saya apa saja memang bisa jadi usaha. Mereka ingin delapan anaknya jadi sarjana dan harus dari universitas negeri. Kenyataannya tidak satu pun saudara saya yang jadi pengusaha. Kalau tidak akademisi, ya pegawai negeri. Saya juga sempat ditawari jadi pengajar di almamater dan posisi menarik di sebuah developer BUMN. Keluarga mendukung. Tapi, saya tidak sreg. Saya justru tertantang dengan stereotip yang mengatakan, orang yang bagus prestasi akademiknya nggak berbakat berbisnis. Saya mau mendobrak stereotip itu. Di sini yang bermain keyakinan sehingga akhirnya saya menjadi seperti yang sekarang. 

Bagaimana Anda mencari pasar? 
Saya orang yang suka berteman. Saya anti punya musuh. Semua itu membantu. Pada masa-masa awal ke mana-mana saya bawa brosur. Saat resepsi pernikahan adik saya, saya tahu kawan-kawan saya dan kawan-kawan dia akan datang. Dia kan kerja di perusahaan oil and gas. Brosur itu saya bagikan. Hasilnya masuk banyak penjualan. Saya juga menjalankan marketing konvensional, beriklan di surat kabar, internet. Dari situ juga dapat konsumen. Setelah perusahaan makin besar kita merekrut awak pemasaran in house.
Tidak seperti remaja dan anak muda pada umumnya, Ghofar berpembawaan tenang dengan orientasi hidup religius dan lurus. Selain hasil didikan di rumah, sikap itu juga terbentuk dari aktivitasnya di lembaga dakwah kampus selain menjadi bendahara RT dan pengurus masjid.
“Di lembaga itu kita membangun paradigma, visi hidup, cita-cita, nilai-nilai. Sejak kuliah saya sudah merencanakan hidup saya. Mau begini, bikin itu dan ini. Persis kayak anak muda di film “Ketika Cinta Bertasbih” itu. Sementara di bidang arsitektur mimpi saya menghimpun Islamic architecture heritage,” tuturnya. 
Contoh, ketika tahu akan sekolah di Malaysia, ia langsung mengkaji apakah akan berangkat masih bujangan atau sudah beristri. Waktu itu dia baru 23 tahun. “Kalau masih bujangan godaannya pasti banyak. Karena itu saya putuskan menikah dulu,” ujarnya. Jadi, lulus Februari 2005, menikah Mei dan akan berangkat ke UTM akhir Oktober.
Jangan heran citra “alim” sudah melekat pada Ghofar sejak kuliah termasuk di mata dosennya Prof Gunawan. Karena itu sang profesor surprise saat diberi tahu, bahwa bekas asistennya itu sudah menjadi developer sukses. “Saya kira dia jadi kiyai, ternyata kapitalis juga, ha..ha..ha,” guraunya. 

Kenapa menamakan perusahaan Relife? 
Silahkan diartikan bebas. Relife itu bisa berarti hidup lagi, dari terpuruk menjadi sukses, dari tidak punya orientasi menjadi jelas orientasinya dan seterusnya. Saya dan dua dua teman di awal itu yang memberi nama. Saya tidak mau nama itu diganti karena punya nilai sejarah. 

Sejak kapan memakai identitas green?
Sejak di Juanda. Kita tahu itu common value tapi kita ingin konsisten di situ sehingga menjadi ciri khas. Kita berupaya menerapkannya sesuai skala pengembangan proyek. Misalnya, di Juanda yang hanya 3.000 m2 kita adakan penghijauan dan kanal resapan. Pada lahan yang lebih luas kita adakan juga fasilitas seperti club house dan musala. Fasilitas ini bukan cost centre tapi marketing centre, pengadaannya harus mempercepat penjualan. Desain rumah juga kita pilih modern tropis yang ada teritisan, plus aksen bata merah ekspos yang kita produksi sendiri. Cocok dengan iklim tropis, dilihat juga enak. Pilihan desain itu diambil karena kita ini kecil. Jadi, harus ada keunikan yang mudah diidentifikasi pasar. Tidak ikut-ikutan tren yang sekarang dikuasai model minimalis. Ternyata pasar merespon dengan baik. Proyek kita 1,5 – 2 tahun sudah tuntas. Penjualannya rata-rata hanya setahun.

Apa tantangan terbesar selama membangun Relife?
Tidak komitmen dan serakah. Ini pantangan besar. Bisnis properti itu padat modal. Berbahaya kalau kita kesusu ingin cepat besar. Misalnya, kita punya Rp2 miliar dari proyek on going. Kita ambil Rp1,5 miliar untuk DP tanah di lokasi lain. Selama penjualan proyek lancar, tidak ada masalah. Tapi, kalau bermasalah, padahal tanah yang baru masih DP, semua proyek jadi nge-lock. Inilah yang membuat banyak developer di masa lalu jadi almarhum. 

Pernah mengalami masalah serius selama berbisnis?
Pernah, cukup besar dan masuk headline news beberapa TV nasional sehingga mengguncang eksistensi kita. Di sini komitmen kita diuji. Kami punya turap (tanggul penahan) di belakang Cimanggis 1 setinggi lima meter dan tebal 1,5 meter. Turap itu rubuh dan menimpa rumah penduduk di bawahnya. Untung sedang tidak ada orang di rumah-rumah itu. Kejadiannya menjelang magrib. Saya langsung bikin posko 24 jam di lokasi. Saya dan seluruh staf nginep di situ kayak relawan. Warga protes. Tapi, saya bilang akan saya selesaikan semua. Dibangun (rumah) yang lebih baik atau kita bayar (tanahnya). Mereka bilang bayar. Kita kasi 2 – 3 kali lipat dari harga normal. Kita habis miliaran rupiah, tapi harus kita lakukan. Kalau tidak proyek dan eksistensi kami hancur. Saya memimpin langsung penyelesaiannya, tidak saya serahkan sama anak buah. 

Bagaimana mendapatkan pengetahuan untuk mendukung bisnis Anda?
Latar belakang pendidikan sangat membantu. Selain itu saya berupaya menguasai detail proses sejak pengadaan tanah sampai serah terima rumah. Saya juga menyerap pengetahuan dari interaksi dengan birokrat, bankir, pejabat PLN, Telkom dan lain-lain. Saya berguru langsung kepada developer senior. Banyak orang baik yang mau berbagi ilmu gratis. Saya juga membaca banyak sekali buku. Seperti buku Hermawan Kertajaya yang membahas soal positioning, target pasar, segmentasi dan seterusnya. Buku ini (menunjukkan buku kisah Stanley Atmadja membesarkan Adira Finance) menjadi acuan kita menyusun strategic dan action planning. Sementara untuk produksi kita menjadikan Premier (developer asal Perancis) sebagai benchmark karena mereka concern pada kualitas. Krisis 1998 pun kita pelajari: siapa yang hancur, siapa yang bangkit dan siapa yang tumbuh lebih cepat. Luar biasa proses belajar di Relife. 

O ya, kenapa kebanyakan proyek Anda di Depok?
Saya sudah lama tinggal di Depok. Nggak bisa kita memulai di daerah yang belum kita kenal. Selain itu ada kecocokan nilai. Depok dikenal sebagai kota dengan penduduk yang cenderung religius. Depok memberi peluang tumbuhnya pengembang dari kalangan muslim. Tapi, itu bukan berarti kita hanya berbisnis di Depok. Kalau mau besar kita harus mencari domain lain. Tahun depan kita pindah ke kantor baru milik sendiri di Jakarta. Dengan berkantor di Jakarta lingkup bisnis kita meluas. 
Ghofar sudah membuat rencana jangka pendek, menengah dan panjang untuk Relife. Ia akan menjadikan Relife sebagai holding untuk tiga strategic business unit (SBU): property development, property management, dan property investment. Yang pertama yang sekarang berjalan. Dua lainnya mencakup pembangunan dan pengelolaan apartemen, hotel, rumah sakit, pusat belanja, perkantoran dan lain-lain. “Kita ingin muslim profesional mampu mengerek perusahaannya sampai besar. Banyak orang kaya muslim tapi kekuatan ekonominya belum kelihatan. Walapun ini tidak akan menjadi isu dalam bisnis saya, tapi saya ingin kita bisa menjadi solusi (cita-cita itu), ” terangnya.

sources :
Majalah Housing Estate.

Read this | Baca juga yang ini



Widget by [ Zein Property ]

No comments:

Post a Comment

Satu komentar dari Anda sangat berharga bagi kami

Mau berlangganan artikel kami? Daftarkan email Anda

Delivered by FeedBurner

Green Paradise, Hunian Nyaman di Kota Idaman Banjarbaru. Lokasi paling dekat dengan pusat kota Banjarbaru. Desain Mewah, Elegan dan Berkelas. Bangunan Halus, Rapi dan Berkualitas. Informasi : (Call) 0853 48 262626, 0511 731 2626 atau (SMS) 0811 508 626. Green Paradise, Hunian Nyaman di Kota Idaman Banjarbaru. Lokasi paling dekat dengan pusat kota Banjarbaru. Desain Mewah, Elegan dan Berkelas. Bangunan Halus, Rapi dan Berkualitas. Informasi : (Call) 0853 48 262626, 0511 731 2626 atau (SMS) 0811 508 626. Green Paradise, Hunian Nyaman di Kota Idaman Banjarbaru. Lokasi paling dekat dengan pusat kota Banjarbaru. Desain Mewah, Elegan dan Berkelas. Bangunan Halus, Rapi dan Berkualitas. Informasi : (Call) 0853 48 262626, 0511 731 2626 atau (SMS) 0811 508 626